Menurutnya, laki-laki dan perempuan adalah sama. Hal ini yang melatarbelakangi perlunya dilakukan pengarusutamaan gender.
"Paradigma itu, ideologi itu, harus bergeser. Pendidikan itu untuk semua dan kehidupan itu juga untuk semua," kata Mendiknas usai membuka Lokakarya Pengalaman Terpetik Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan di Kemendiknas, Jakarta, Rabu Malam (24/2/2010).
Gender adalah konsep budaya yang diberikan pada seseorang karena ia terlahir dengan jenis kelamin tertentu. Sebagai akibat dari suatu proses kebudayaan, maka ada perbedaan perlakuan antara laki-laki dengan perempuan dalam peranan sehari-hari, yang kemudian menjadi stereotype tertentu di dalam masyarakat.
Dengan pemahaman bahwa gender adalah konsep di dalam kebudayaan masyarakat, ditambah merupakan hasil dari pemikiran kebudayaan masyarakat, gender itu dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Mendiknas mengungkapkan, fakta bias gender terjadi di berbagai sisi kehidupan masyarakat seperti di dunia akademik, jabatan, dan karir. Kelompok-kelompok perempuan, kata Mendiknas, kurang bisa berpartisipasi di dalam ikut serta membangun bangsa. "Ini faktanya memang demikian. Bisa jadi karena memang sejarah panjang bahwa perempuan secara ideologinya berada pada garis belakang. Oleh karena itu kenapa dilakukan pengarusutamaan (gender)," ungkapnya.
Sementara, kata Mendiknas, di bidang pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah kesetaraan gender sudah bagus. Hampir seluruh anak baik laki-laki maupun perempuan mengakses dunia pendidikan. Namun, lanjut Mendiknas, pada jenjang pendidikan tinggi usia 18-23 tahun mulai berkurang. Hal ini, kata Mendiknas, disebabkan pada usia tersebut mulai terjadi proses pernikahan. "Ujung-ujungnya tidak sekolah. Bagaimana mau sekolah wong sudah hamil? Paradigma ini yang harus digeser," katanya.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari mengatakan, pengarusutamaan gender dilakukan agar pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan, program, kegiatan yang adil dan responsif gender kepada rakyatnya, baik perempuan dan laki-laki.
Selain itu, lanjut Linda, kebijakan dan pelayanan publik, serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi semua rakyat perempuan dan laki-laki. "Keberhasilan pelaksanaan pengarusutamaan gender memperkuat kehidupan sosial, politik, dan ekonomi suatu bangsa," katanya.
Lebih lanjut Linda mengatakan, anggaran responsif gender diperlukan. Dia mengungkapkan, selama ini ada anggapan yang salah tentang anggaran responsif gender. "Bukan anggaran dibagi 50 persen untuk laki-laki dan 50 persen untuk perempuan atau penyisihan anggaran lima persen. Bukan juga penambahan unsur baru dalam anggaran, tetapi bagaimana anggaran responsif gender terjadi di semua program
Rabu, 17 Maret 2010
Paradigma Gender Harus Digeser
Jakarta, Rabu (24 Februari 2010)--Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menegaskan, paradigma masyarakat tentang gender harus digeser.